Jumat, 17 April 2015

ORGANISASI KURIKULUM & INTEGRATED CURRICULUM



A.     Organisasi Kurikulum
Organisasi kurikulum adalah  penyususnan komponen kurikulum, seperti konten kurikulum, kegiatan dan pengalaman belajar, diorganisir menjadi satu kesatuan sistem sampai menjadi mata pelajaran, program, lessons, topik, unit  dan sebagainya untuk mencapai efektifitas pendidikan. Organsisasi kurikulum adalah jawaban atas pertanyaan  “Bagaimana pengalaman belajar diorganisir atau disusun agar efektifitas pendidikan tercapai?”. Karena pengalaman belajar bersumber dari hasil interaksi antara siswa, konten guru dan lingkungan belajar, pertanyaan itu diparaprase  menjadi “Bagaimana konten dan kegiatan belajar disusun dalam disain kurikulum agar tujuan pendidikan bisa dicapai?”.
Untuk mencapai tujuan pendidikan melalui penyusunan komponen kurikulum seperti  konten atau materi, pengetahuan, kegiatan belajar, pengalaman belajar, maupun kompetensi, tidak akan terujud hanya setelah siswa mengikuti beberapa kali pengajaran atau  setelah melakukan beberapa kali kegiatan belajar.  Semua susunan komponen kurikulum itu hanya akan efektif melalui proses pembelajaran yang  telah berlangsug beberapa bulan, bahkan  beberapa tahun, sampai semuanya terakumulatif menjadi program atau kurikulum yang koheren. Bab ini membicarakan garis besar prosedur atau sistematika  pengorganisasian beberapa komponen  kurikulum seperti konten, kegiatan belajar, dan lingkungan pembelajaran agar menghasilkan pengalaman belajar yang relevan dengan tujuan yang akan dicapai.
1.      Dimensi Kurikulum
a.      Dimensi Horizontal
 Ada dua prinsip organisasi horizontal (widening of knowledge) yang harus dipenuhi dalam mengembangkan efektifitas pengalaman belajar secara horizontal. Kedua prinsip itu ialah integration (integrasi) dan scope (ruang lingkup) antar elemen kurikulum atau mata pelajaran seperti teori, konsep, dalil, prinsip dan lain-lain sebagai berikut.
 Integrasi (integration) mata pelajaran bernilai tinggi bagi pembelajaran dan retensi siswa (Ediger&Rao,2011:3). Sebab, secara horizontal integrasi memperluas pandangan siswa tentang pengetahuan. Artinya, integrasi memungkinkan siswa, bukan saja dapat memahami hubungan antara satu mata pelajaran dan mata pelajaran lain, tetapi juga antara pengetahuan di sekolah dan pengalaman belajar di luar sekolah (out of school experiences), serta antara kurikulum dengan bakat, minat dan kebutuhan personal siswa (McNeil,1977:167). Bentuk pengintegrasian kurikulum yang biasa dilakukan ialah pengorganisasian mata pelajaran seolah-olah semua mata pelajaran itu terkait satu sama lain; pada hal  selama mereka bersekolah, independensi substansi tiap mata pelajaran tetap terpelihara (Ediger&Rao,2011:3).
Pendidikan harus mengajarkan pengetahuan yang lebih luas dan terintegratif atau saling terkait, dari pada hanya fokus pada substansi tiap disiplin ilmu dan mata pelajaran saja (Tanner&Tanner,1975:431). Kesimpulan, integrasi  dibangun  untuk menonjolkan hubungan horizontal berbagai pengalaman belajar siswa, baik pada satu mata pelajaran maupun antar mata pelajaran.
 Dengan memahami peran integrasi kurikulum muncul kritik terhadap kurikulum yang fokus hanya pada pengajaran mata pelajaran tradisional yang terpisah (seperate-subject matters). Disain atau organisasi kurikulum tradisional ini cenderung mengesankan fragmentasi dan keterpisahan pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotor) dan sikap (afektif). Pada hal, menurut Taba (1962:298), pengetahuan yang terpisah-pisah dalam mata pelajaran atau spesilisasi pengetahuan yang terlalu sempit, kurang bermanfaat bagi siswa yang kelak menghadapi berbagai masalah hidup yang kompleks.  Masalah ini hanya dapat dihadapi siswa melalui pengetahuan interdisipliner yaitu integrasi pengetahuan, keterampilan dan sikap dari berbagai disiplin ilmu atau bidang studi yang relevan dengan masalah kehidupan. 
Kekuatan integrasi kurikulum  terletak pada pemberian kesempatan belajar kepada siswa untuk mengembangkan kemampuan nalar tingkat tinggi  dan kedalaman analisis (high order of cognitin with analysis) siswa sehingga mereka bisa dilatih membedakan antara fakta dan opini, infomasi yang akurat dan yang tidak akurat, serta antara fantasi dan realita (Ediger&Rao,2011:4). Selain itu, dalam pemecahan masalah, siswa juga diberi kesempatan untuk mengembangkan kreatifitas  menemukan hal-hal baru, unik dan pikiran yang original, pengembangan berpikir konsepsual dan berpikir intregratif. Semua kemampuan tersebut  dapat memfasilitasi siswa mempelajari berbagai ragam sumber belajar yang relevan dengan pemecahan masalah. Apalagi pemecahan masalah yang mensyaratkan kemampuan berpikir konsepsual merupakan proses yang berlangsung sepanjang hayat (Erickson, 2002:8).  
Pendekatan integrasi kurikulum berbeda dengan pendekatan belajar lainnya karena: (1) tidak mementingkan hafalan, tetapi mengutamakan aplikasi pengetahuan untuk memecahkan masalah yang relevan dengan masalah yang sudah diidentifikasi; (2)  mata pelajaran tidak dipecah-pecah menjadi bagian-bagian tetapi dipakai secra holistik dalam situasi yang dilematis; (3)  pemakaian mata pelajaran dari disiplin ilmu interdisipliner untuk merumuskan hipotesis dan solusi pemecahannya; (4) utilitas dan praktikalitas inheren dalam menemukan solusi dari masalah yang problemtik; dan (5)  situasi yang ditemui dalam kehidupan (life-like situations) mensyaratkan kemampuan apklikatif dari pengetahuan yang telah dipelajari siswa (Ediger& Rao,2011:4).
Ø  The Fused Plan. Lebih luas dari kurikulum korelasi ialah the fused plan yaitu susunan kurikulum yang lebih  ditekankan pada hubungan disiplin ilmu atau mata pelajaran yang lebih banyak dari kurikulum korelasi, tetapi lebih sedikit dari kurikulum integrasi atau kurikulum pemecahan masalah (Ediger&Rao,2011:5).
Ø  Pembelajaran Tema. Dari satu segi, kurikulum integrasi bisa diartikan sebagai suatu bentuk alternatif organisasi kurikulum. Dari pada memberlakukan kurikulum disisplin akademik, pendekatan yang kebih bersifat interdisipliner dipakai. Misalnya,  dari pada menawarkan mata pelajaran sejarah, kurikulum bisa mencakup seperangkat tema atau isu yang mengharuskan siswa menguasai bidang studi sosial yang lebih luas dari sejarah saja.

2). Ruang Lingkup (Scope).
Ø  Mata Pelajaran. Ruang lingkup berdasarkan mata pelajaran yang terpisah-pisah (separate subject matters) sudah lumrah pada kurikulum sekolah di mana-mana. Berapa mata pelajaran tertentu dipilih berdasarkan anggapan bahwa mata pelajaran tersebut berguna dan rele­van untuk dipelajari siswa. Sedangkan mata pelajaran lainnya dianggap tidak perlu dikesampingkan. Umpama, hampir semua kurikulum mencantumkan bahasa, sains, sejarah, geografi dan matematika dengan ruang lingkup tertentu  masuk kurikulum.
Ø  Bidang Luas (Broad Fields). Oleh karena kritik tentang kelemahan kurikulum sebagai mata pelajaran yang terpisah-pisah, beberapa ahli kurikulum menyatukan beberapa mata pelajaran atau disiplin ilmu terkait menjadi satu bidang studi yang lebih luas, seperti menyatukan matematika dan sains menjadi Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) atau Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) sebagai gabungan beberapa mata pelajaran  Sejarah, Geografi, Ekonomi, Sosiologi dan Antropologi. Penyokong ide penggabungan  mata pelajaran tersebut mengemukakan bahwa kita harus mengajarkan kepada siswa saling kaitan antara dan antar bidang-­bidang ilmu berdekatan.
Ø  Projek. Metode projek oleh Kilpatrick (1918) mengharuskan  siswa  melakukan suatu projek yang penyelesaiannya mensyaratkan siswa menguasai pengetahuan dan nalar lintas, integrasi bidang studi atau disiplin ilmu (Schu­bert 1986:235). Kurikulum projek adalah suatu karya yang ditentukan para siswa, walau pada prakteknya, seringkali projek  itu ditentukan guru. Pembelajaran atau kesan yang ingin dimiliki siswa dalam melakukan projek adalah bahwa untuk memahami suatu masalah dengan jelas di masyarakat diperlukan perspektif yang lebih luas dengan mensintesiskan pengetahuan disiplin ilmu yang berbeda-beda dan yang terkait. Dengan ka­ta lain, projek ingin menanamkan pengertian kepada siswa, bahwa diperlukan perspektif beragam ilmu untuk memahami satu faset atau masalah dalam kultur, masyarakat, kehidupan pribadi atau masalah intelektual.
Ø  Kurikulum Inti.  Kurikulum Inti  (The Core Curriculum) yang diajukan Alberty, Faunce dan Bassing, menyatukan beberapa disiplin ilmu dalam satu pusat kesatuan yang biasanya mengenai masalah sosial (Schubert,1986:235-36). Umpama, masalah seperti perang dan damai, penghancuran ekologi, kelaparan, peledakan penduduk, kemiskinan atau kecem­buruan sosial dapat dipelajari dengan membimbing siswa melak­sanakan riset sehingga mereka memperoleh pengertian yang da­lam dari berbagai disiplin ilmu atau dari pengalaman praktis mereka di masyarakat.

b.      Dimensi Vertikal
Ada dua prinsip organisasi vertikal yaitu sequence (urutan) dan continuity (keberlanjutan)dapat pemakalah uraikan sebagai berikut:
Ø  Urutan (sequence).
Dimensi pertama organisasi vertikal ialah urutan (sequence) yaitu  meletakkan konten, kegiatan belajar atau pengalaman belajar dalam suatu susunan vertikal yang berkembang secara akumulatif dan berkesinambungan, makin lama makin luas dan makin dalam.  Banyak pendidik yang peduli pada pengajaran konten tetapi cenderung mengabaikan efektifitas urutan konten. Pada hal, jika kurikulum mementingkan urutan, siswa akan berhasil dalam pembelajaran, sebab retensi mereka lebih baik jika hubungan antar mata pelajaran atau bidang studi diperhatikan (Ediger& Rao, 2010:43).  Sebaliknya, tidak ada perkembangan  atau    keberlanjutan progresif dari pengetahuan, keterampilan atau pengalaman siswa sebelumnya, jika urutan diabaikan. a. Urutan dari sederhana ke komplek, b. Urutan dari yang sudah dikenal ke yang belum dikenal, c. Urutan dari yang konkrit ke yang abstrak, d. Mengajarkan atau membelajarkan siswa tentang faktor terikat (dependent factor ) terlebih dahulu, e. Urutan kronologis, f. Urutan berdasarkan kegunaan
Posner dan Strike juga mengajukan empat prinsip organisasi kurikulum, yaitu urutan:
a)       Berkaitan dengan konsep (concept-related); urutan yang paling biasa pada pembelajaran struktur pengetahuan, seperti saling kaitan antar dan antara konsep-konsep pada matematika dan logika dari pada antara objek nyata.
b)       Berkaitan dengan penelitian (inquiry-related) yang berasal dari prosedur yang dilakukan ilmuwan dalam melakukan penelitian lapangan. Artinya, langkah-langkah yang dilakukan peneliti dalam memproses konsep dan prinsip dipakai pula sebagai dasar dalam urutan topik-topik kurikulum.
c)      Berkaitan dengan pembelajar (learner-related) yaitu urutan sesuai cara siswa belajar memperoleh pengalaman melalui pembelajaran konten dan melakukan kegiatan belajar.
d)     Berkaitan dengan kegunaan (utility-related) sesuai prosedur bagaimana orang melakukan sesuatu untuk mencapai suatu tujuan tertentu dalam kehidupan nyata (Ornstein&Hunkins,2013:157).   
Selain prinsip susunan tradisonal tersebut, ada pula prinsip urutan kurikulum berdarkan model psikologi  Robert Gagne, dan teori perkembangan seperti Robert Havigfurst, Jean Piaget, Erik Ericson dan Lawrence Kohlberg sebagai berikut.
1.      Gagne menyusun pembelajaran atas empat tipe pembelajaran. Keempat tipe pembelajaran tersebut adalah: (1) Diskriminasi beragam (multiple discrimination) yang terkait dengan bagaimana siswa belajar merespon dorongan yang berbeda terhadap stumulus yang kelihatannya sama. Misalnya, anak-anak TK belajar menemukan perbedan antara huruf d dan b; (2) Belajar konsep (concept learning) yaitu cara siswa meberikan respon yang sama terhadap seperangkat dorongan. (3) Belajar prinsip (principle learning) mengacu pada bagaimana siswa menguasai suatu prinsip, hukum, atau seperangkat konsep, dan (4) Pemecahan masalah (problem solving) (McNeil,1977:162-63).
2.      Prinsip susunan kurikulum berdasarkan Teori Perkembangan (Development Tasks) oleh  Robert Havighurt dikemukakan bahwa: (1) kematangan organisme biologis menentukan tingkat kemampuan anak melakukan sesuatu, (2) pola sosial dan kultural mengharuskan anak mempelajari kemampuan tertentu pada waku tertentu, (3)  pola berurutan  tentang kesukaan atau ketidaksukaan  individual anak (McNeil,1977:162-63). Misalnya,  kegiatan belajar untuk late childhood mencakup hal-hal seperti sosialisasi dengan sebaya, melakukan hal-hal sesuai  aturan berlaku, mengenal kawan-kawan dari kelamin sejenis dan memahami  perubahan fisik.
3.      Erick Erikson mengajukan Life Cycles  (jalur kehidupan) sebagai dasar urutan kurikulum seperti keinginan dan harapan yang harus dikuasai siswa sesuai tuntutan budayanya sejak  kanak-kanak sampai dewasa sebagai petunjuk tentang cara  yang tepat bagaimana menyusun kurikulum (McNeil,1977:164).
4.      Lawrence Kohlber mengajukan A Development Scheme (skema perkembangan) sebagai cara penyusunan pembelajaran dalam bidang moral (McNeil,1977:164).  Dia percaya bahwa kesempatan belajar harus disusun sesuai  tahap perkembangan anak saat ini dan saat berikutnya. Dia menemukan bukti  bahwa perubahan pola pikir moral anak berkembang bertahap melalui enam tipe pertimbangan moral (moral judgment) dari tiga tingkat perkembangan moral:
 (1) Tingkat Prakondisional  (4-10 tahun
(2) Tingkat Konvensional (10-13 tahun)
(3) Tingkat Pasca
5.      Piaget mengajukan  empat pengembangan kurikulum yang dapat dirangkum sebagai berikut.
(1) Tingkat Sensorimotor (sejak lahir sampai 2 tahun) ketika anak mulai dapat memahami konsep atau simbol yang secara gradual berkembang dari  tingkah laku reflektif menjadi tingkah laku bermakna (goal-directed behavior). Pada fase ini anak juga mulai memahami hubungan sederhana antara benda-benda yang mirip  dalam lingkungannya melalui  indera dan keterampilan motoriknya.
(2) Tingkat Pra-operasional (2-7 tahun), perkembangan kemampuan mengguna-kan simbol dari benda-benda seperti kursi untuk duduk, pakaian untuk kita pakai. Pada fase ini anak juga memiliki kemampuan yang besar untuk mempelajari konsep yang lebih kompleks melalui pengalaman seperti  apel dan pisang adalah buah yang bisa disentuh  dan dimakan.
(3) Tingkat Konkrit Operasional (7-11 tahun),  anak mulai memiliki kemampuan berpikir logis dan memperoleh fasilitasi bagi kemampuan memecahkan masalah tentang hal-hal yang sudah dikenalnya atau ada benda konkrit. Kemampuan berpikir abstrak belum mungkin dapat dilakukan anak pada tahap  ini.
(4) Tingkat Formal Operasional (11 tahun-dewasa) mulai ketika terlihat perkembangan para adolesen memiliki kemampuan operasional formal dan abstrak sehingga dia mampu menganalisis  ide-ide, bisa  berpikir hipotesis, memahami hubungan dalam ruang dan waktu serta mampu memecahkan masalah melalui kemampuan eksperimen sistematik. (McNeil,1977; Ornstein &Hunkins, 1988; Elliott, 1996; Slavin, 994).
Ø  Keberlanjutan (Continuity). Prinsip kedua organisasi vertikal ialah keberlanjuan (contuinity) yaitu pengulangan vertikal elemen-elemen kurikulum utama (Tyler,1949:84; Ornstein&Hunkins,2013:157). Melalui prinsip keberlanjutan, konten, konsep, teori, ide atau tema yang memerlukan pendalaman dan perluasan lebih lanjut dimunculkan kembali. 

2.      Organisasi Dimensi horizontal dan vertical
Kedua dimensi organisasi kurikulum, horizontal dan vertikal, sangat strategis dalam menghasilkan efek kumulatif pengalaman belajar siswa yang dihasilkan (Tyler,1949:84; McNeil,1977:158). Di  samping itu, organisasi horizontal dan vertikal memungkinkan  kaburnya garis batas  antar mata pelajaran atau bidang studi sehingga menghasilkan curiculum synthesis  tanpa menghilangkan independensi mata pelajaran atau disiplin ilmu masing-masing (Tanner & Tanner, 1975:473).
Kurikulum Spiral. Ide penyusunan konten atau pengetahuan secara horizontal dan terutama  vertikal, memicu Bruner mengajukan konsep Spiral Curriculum; kurikulum yang menanamkan kepada siswa ide pokok struktur disiplin ilmu yang  dikembangkan secara spiral sehingga  pengetahuan siswa makin lama makin dalam (deepened) dan makin luas (widened), mengikuti kemajuan kemampuan mereka ke kelas atau tingkat pendidikan yang makin tinggi pula (Tanner&Tanner,1975:429).
Kurikulum spiral, menurut John Dewey, tidak terkait struktur bidang ilmu saja seperti pada spiral kurikulum Bruner, tetapi dimulai dari keluasan dan kedalaman  pengalaman pendidikan siswa untuk memecahkan berbagai masalah sebagai hasil perkembangan daya pikir siswa. Berdasarkan hal tersebut, Dewey mengungkap perlunya  seleksi mata pelajaran untuk disesuaikan dengan tingkat kematangan siswa. Ide ini terkait pula dengan curriculum synthesis pada tataran vertikal dan lateral – pada tataran vertikal mengacu pada perluasan pengetahuan ke tingkat yang lebih tinggi, dan pada tataran lateral dengan saling kaitan antar bidang studi dan disiplin ilmu (Tanner&Tanner, 1975:430).
Artikulasi dan Keseimbangan. Artikulasi (articulations) adalah saling kaitan antara berbagai aspek kurikulum, baik secara horizontal maupun vertikal (Ornstein&Hunkins, 1988:170). Saling kaitan elemen kurikulum tertentu dengan elemen kurikulum lainnya pada waktu yang berbeda  mengacu pada dimensi artikulasi vertikal. Umpama, artikulasi antara beberapa konsep mata pelajaran matematika pada suatu kelas yang berguna bagi siswa untuk memahami konsep statistika di kelas berikutnya. Artikulasi juga mengacu pada saling kaitan beberapa aspek kurikulum, baik secara vertikal maupun horizontal, sehingga konten yang muncul kemudian berkaitan  dengan yang sebelumnya. Misalnya, guru mengatur agar mata pelajaran matematika berkaitan dengan konsep kunci matematika pada mata pelajaran geometri di waktu lain (Ornstein&Hunkins,2013:158).
Sedangkan keseimbangan (balance)  adalah upaya untuk menyusun elemen-elemen kurikulum agar terjaga tekanan yang berimbang, misalnya,  antara ketiga ranah kognitif, afektif dan psikomotor yang relevan dengan tujuan pendidikan. Keseimbangan juga bisa dipandang dari segi kebutuhan stakeholders kurikulum yang beragam. Menurut Brady&Kennedy (2007:7-9), ada beberapa stakeholders kurikulum seperti masyarakat, guru, siswa, orang tua, pemerintah, kelompok bisnis, perguruan tinggi dan lain-lain yang masing-masing memiliki harapan, kepentingan dan aspirasi yang bervariasi tentang fokus kurikulum yang harus dikuasai siswa sebelum mereka berkiprah di masarakat.

3.      Elemen Pengorganisasian
Pada bagian terdahulu sudah disebut ada integration threads (benang intergrasi) yang dikenal juga dengan organizing threads (Tyler,1949:86) sebagai elemen  yang menghubungkan atau mengintegrasikan satu atau lebih disiplin ilmu, bidang studi atau mata pelajaran. Benang organisasi tersebut, antara lain: (1) Konsep,  konten atau materi kurikulum dikembangkan sekitar konsep tertentu seperti pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai, kebudayaan, pertumbuhan, nomor, ruang, evaluasi, dan lain-lain; (2) Generalisasi, kesimpulan yang diambil ilmuwan berdasarkan observasi mendalam; (3) Keterampilan,  keahlian atau kemampuan yang direncanakan untuk dimiliki siswa bagi kelangsungan proses pembelajaran. (4) Nilai-nilai filsafat, nilai kemasyarakatan agar dapat hidup dengan baik di, dan dapat diterima oleh, masyarakat seperti menghargai hakekat kemanusiaan setiap orang tanpa melihat suku, ras, bangsa, agama, pangkat, penghasilan serta harga diri. (5) Pengalaman belajar antara suatu bidang studi atau mata pelajaran dengan mata pelajaran lainnya termasuk pengalaman belajar di sekolah dan pengalaman belajar di luar sekolah atau di lapangan sehingga terjadi korelasi dan integrasi antara abstrart book knowledge, pengetahuan abstrak dalam buku teks (teori) di sekolah dan pengalaman nyata  (real-life exeriences) siswa di lapangan (praktik).
     Elemen organisasi mana yang dipilih terkait  tujuan pembelajaran yang akan dicapai.  Misalnya pada kurikulum vokasional, atau teknologi, keterampilan menjadi elemen kurikulum yang tepat untuk dipilih sebagai benang organisasi penghubung. Selain itu, pengetahuan tentang konsep-konsep abstrak yang dipelajari siswa pada mata pelajaran teknik dan vokasional (teori) tersebut perlu pula dikaitkan dengan pengalaman belajar nyata (praktik) siswa di lapangan sebagai elemen penting untuk dihubungkan. Sasarannya ialah untuk mengembangkan kemampuan aplikatif siswa dalam mengaplikasikan teori-teori yang telah dipelajari di sekolah (pedagogic learning) di dunia nyata atau lapangan  (real- life experiences).
4.      Kurikulum Fungsional
Seringkali kurikulum tidak efektif bukan dosebabkan konten yang tidak memadai, tetapi karena organisasi atau susunan konten membuat pembelajaran sulit, atau karena pengalaman belajar disusun dengan suatu cara  yang  mengakibatkan pembelajaran kurang efisien atau kurang produktif (Taba,1962:290) sehingga menyebakan kurikulum tidak fungsional. Dysfungtional curriculum  disebabkan kedua komponeen konten, meteri dan dan kegiatan belajar, tidak diorganisir sebagai  satu unit kesatuan dalam proses pembelajaran. Dengan perkataan lain, kurikulum bisa disfungsional karena konten tidak dilengkapi kegiatan belajar siswa; konten kufrikulumlebih banyak diajarkan guru dari pada dipeljari siswa sehingga menghasilkan belajar verbal yang  menimbulkan kurikulum tidak efektif. Artinya, siswa banyak diam mendengar presentasi konten oleh guru, berfungsi sebagai passive recievers saja menerima pengajaran guru. Jadi,   konten kurikulum dan kegiatan belajar yang tidak disusun sebagai satu kesatuan (unity) dalam setiap proses pembelajaran, menyebabkan kurikulum disfungsional.
Kesimpulan, kurikulum fungsional ialah kurikulum yang lebih fokus pada pembeljaraan siswa melalui  kegiatan belajar siswa (learning activities) dan sekaligus meminimalkan pengajaran guru (teaching activituies). Dengan kata lain, untuk menghindarkan kurikulum disfungsional, perlu kurikulum yang mengintegrasi konten dan kegiatan belajar siswa, bukan disusun secara terpisah-pisah yang lebih mengutamakan teaching activiteis dari pada learning activiries.

5.      Organisasi Kurikulum
Pengembang kurikulum, menurut Ornstein&Hunkins (2013:200), bisa juga menyusun  konten dalam beberapa tipe dimesnsi yaitu dimesni filosofis/logis, psikologis, politis dan praktis.
Organisasi Logis:
 Pengembang kurikulum  menyusun konten berdasarkan aturan atau konsep bidang studi atau disiplin ilmu (logical organization) bersangkutan. Di bidang ekonomi, misalnya, konsep penawaran dan pemintaan merupakan pengorgansir utama. Andaikata kedua konsep ini tidak dipahami siswa, maka ia juga akan kesulitan memahami konsep modal, buruh dan pasar (Ornstein&Hunkins,2013:200).
Organisasi Psikologis
Komponen kurikulum yang  diorganisir secara psokologis (psychological organization) berkaitan dengan penyusunan materi dan kegiatan belajar sesuai psikologi belajar untuk mengoptimalkan hasil pembelajaran. Menurut psikologi tingkah laku (behaviorisme), misalnya,  koten kurikulum harus diseleksi dan disusun sedemikian rupa supaya menghasilkan respons positif dari siswa yang kemudian  harus diikuti penguatan. Sedangkan menurut psikologi kognitif, penyusunan konten dan kegiatan belajar haruslah mendorong siswa berpikir untuk menganalisis, berhipotesis, menginvestigasi, dan mengkritik sebelum sampai pada kesimpulan tentang materi terkait (Ornstein&Hunkins,2013:200). 
Organisasi Politis
 Organisisasi politis (political organizaition)  makin populer. Menuut Ornstein&Hunkins (2103:200), susunan tipe ini menyusun konten dan keguatan siswa fokus pada pembelajarn tebtang topik-topik dan tokoh-tokoh yang berpengaruh sebagai pressure group di mas yarakat. Seingkali konten bernuansa politis diajarkan sesuai ketentaun legal negara.
Organisasi Praktis
Susunan praktis (practicality organization) terkait masalah praktis dan biaya penyusnan elemen kurikulum, misalnya, mengikuti suatu inovasi pendidikan yang dianggap lebih efektif dari susunan elemen kurikulum sebelumnya. Praktis termasuk pemberlakuan inovasi untuk menjawab pertanyaan, ”Organisasi kompoen kurikulum mana yang bisa mengoptmalkan pembelajaran?”, ”Apakah ada teknologi, buku teks atau sumber belajar lain yang menunjang pemberlakuan inovasi ini?” serta pertanyana tentang kemungkinan support dari guru, orang tua dan masyarakat termasuk sumber daya.

B.     Integrasi Kurikulum (Integrated Curriculum)

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Organisasi Kurikulum
Organisasi kurikulum adalah  penyususnan komponen kurikulum, seperti konten kurikulum, kegiatan dan pengalaman belajar, diorganisir menjadi satu kesatuan sistem sampai menjadi mata pelajaran, program, lessons, topik, unit  dan sebagainya untuk mencapai efektifitas pendidikan. Organsisasi kurikulum adalah jawaban atas pertanyaan  “Bagaimana pengalaman belajar diorganisir atau disusun agar efektifitas pendidikan tercapai
Organisasi atau susunan kurikulum dan pembelajaran bisa dilihat antar bidang dan antar waktu. Kedua dimensi  tersebut disebut berturut-turut ”organisasi horizontal” dan ”organisasi vertikal”. Integrasi (integration) mata pelajaran bernilai tinggi bagi pembelajaran dan retensi siswa (Ediger&Rao,2011:3). Sebab, secara horizontal integrasi memperluas pandangan siswa tentang pengetahuan.
Pendekatan integrasi kurikulum berbeda dengan pendekatan belajar lainnya karena: (1) tidak mementingkan hafalan, tetapi mengutamakan aplikasi pengetahuan untuk memecahkan masalah yang relevan dengan masalah yang sudah diidentifikasi; (2)  mata pelajaran tidak dipecah-pecah menjadi bagian-bagian tetapi dipakai secra holistik dalam situasi yang dilematis; (3)  pemakaian mata pelajaran dari disiplin ilmu interdisipliner untuk merumuskan hipotesis dan solusi pemecahannya; (4) utilitas dan praktikalitas inheren dalam menemukan solusi dari masalah yang problemtik; dan (5)  situasi yang ditemui dalam kehidupan (life-like situations) mensyaratkan kemampuan apklikatif dari pengetahuan yang telah dipelajari siswa (Ediger& Rao,2011:4).
Kurikulum Fungsional ialah kurikulum yang lebih fokus pada pembeljaraan siswa melalui  kegiatan belajar siswa (learning activities) dan sekaligus meminimalkan pengajaran guru (teaching activituies).
Organisasi Kurikulum: Pengembang kurikulum, menurut Ornstein&Hunkins (2013:200), bisa juga menyusun  konten dalam beberapa tipe dimesnsi yaitu dimesni filosofis/logis, psikologis, politis dan praktis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar