A.
Organisasi Kurikulum
Organisasi kurikulum adalah
penyususnan komponen kurikulum, seperti konten kurikulum, kegiatan dan
pengalaman belajar, diorganisir menjadi satu kesatuan sistem sampai menjadi
mata pelajaran, program, lessons, topik,
unit dan sebagainya untuk mencapai
efektifitas pendidikan. Organsisasi kurikulum adalah jawaban atas pertanyaan
“Bagaimana pengalaman belajar diorganisir atau disusun agar efektifitas
pendidikan tercapai?”. Karena pengalaman belajar bersumber dari hasil interaksi
antara siswa, konten guru dan lingkungan belajar, pertanyaan itu
diparaprase menjadi “Bagaimana konten
dan kegiatan belajar disusun dalam disain kurikulum agar tujuan pendidikan bisa
dicapai?”.
Untuk mencapai tujuan pendidikan melalui penyusunan komponen kurikulum
seperti konten atau materi, pengetahuan,
kegiatan belajar, pengalaman belajar, maupun kompetensi, tidak akan terujud
hanya setelah siswa mengikuti beberapa kali pengajaran atau setelah melakukan beberapa kali kegiatan
belajar. Semua susunan komponen
kurikulum itu hanya akan efektif melalui proses pembelajaran yang telah berlangsug beberapa bulan, bahkan beberapa tahun, sampai semuanya terakumulatif
menjadi program atau kurikulum yang koheren. Bab ini membicarakan garis besar
prosedur atau sistematika
pengorganisasian beberapa komponen
kurikulum seperti konten, kegiatan belajar, dan lingkungan pembelajaran
agar menghasilkan pengalaman belajar yang relevan dengan tujuan yang akan
dicapai.
1.
Dimensi Kurikulum
a.
Dimensi
Horizontal
Ada dua prinsip organisasi horizontal (widening of knowledge) yang harus dipenuhi dalam mengembangkan
efektifitas pengalaman belajar secara horizontal. Kedua prinsip itu ialah integration (integrasi) dan scope (ruang lingkup) antar elemen
kurikulum atau mata pelajaran seperti teori, konsep, dalil, prinsip dan
lain-lain sebagai berikut.
Integrasi (integration) mata pelajaran bernilai tinggi bagi
pembelajaran dan retensi siswa (Ediger&Rao,2011:3). Sebab, secara
horizontal integrasi memperluas pandangan siswa tentang pengetahuan. Artinya,
integrasi memungkinkan siswa, bukan saja dapat memahami hubungan antara satu
mata pelajaran dan mata pelajaran lain, tetapi juga antara pengetahuan di sekolah
dan pengalaman belajar di luar sekolah (out
of school experiences), serta antara kurikulum dengan bakat, minat dan
kebutuhan personal siswa (McNeil,1977:167). Bentuk pengintegrasian kurikulum
yang biasa dilakukan ialah pengorganisasian mata pelajaran seolah-olah semua
mata pelajaran itu terkait satu sama lain; pada hal selama mereka bersekolah, independensi
substansi tiap mata pelajaran tetap terpelihara (Ediger&Rao,2011:3).
Pendidikan harus mengajarkan pengetahuan yang lebih luas dan terintegratif
atau saling terkait, dari pada hanya fokus pada substansi tiap disiplin ilmu
dan mata pelajaran saja (Tanner&Tanner,1975:431). Kesimpulan,
integrasi dibangun untuk menonjolkan hubungan horizontal
berbagai pengalaman belajar siswa, baik pada satu mata pelajaran maupun antar
mata pelajaran.
Dengan memahami peran integrasi
kurikulum muncul kritik terhadap kurikulum yang fokus hanya pada pengajaran
mata pelajaran tradisional yang terpisah (seperate-subject
matters). Disain atau organisasi kurikulum tradisional ini cenderung
mengesankan fragmentasi dan keterpisahan pengetahuan (kognitif), keterampilan
(psikomotor) dan sikap (afektif). Pada hal, menurut Taba (1962:298),
pengetahuan yang terpisah-pisah dalam mata pelajaran atau spesilisasi
pengetahuan yang terlalu sempit, kurang bermanfaat bagi siswa yang kelak
menghadapi berbagai masalah hidup yang kompleks. Masalah ini hanya dapat dihadapi siswa
melalui pengetahuan interdisipliner yaitu integrasi pengetahuan, keterampilan
dan sikap dari berbagai disiplin ilmu atau bidang studi yang relevan dengan
masalah kehidupan.
Kekuatan integrasi kurikulum
terletak pada pemberian kesempatan belajar kepada siswa untuk
mengembangkan kemampuan nalar tingkat tinggi dan kedalaman analisis (high order of cognitin with analysis) siswa
sehingga mereka bisa dilatih membedakan antara fakta dan opini, infomasi yang
akurat dan yang tidak akurat, serta antara fantasi dan realita (Ediger&Rao,2011:4).
Selain itu, dalam pemecahan masalah, siswa juga diberi kesempatan untuk
mengembangkan kreatifitas menemukan
hal-hal baru, unik dan pikiran yang original, pengembangan berpikir konsepsual
dan berpikir intregratif. Semua kemampuan tersebut dapat memfasilitasi siswa mempelajari
berbagai ragam sumber belajar yang relevan dengan pemecahan masalah. Apalagi
pemecahan masalah yang mensyaratkan kemampuan berpikir konsepsual merupakan
proses yang berlangsung sepanjang hayat (Erickson, 2002:8).
Pendekatan integrasi kurikulum berbeda dengan pendekatan belajar lainnya
karena: (1) tidak mementingkan hafalan, tetapi mengutamakan aplikasi
pengetahuan untuk memecahkan masalah yang relevan dengan masalah yang sudah
diidentifikasi; (2) mata pelajaran tidak
dipecah-pecah menjadi bagian-bagian tetapi dipakai secra holistik dalam situasi
yang dilematis; (3) pemakaian mata
pelajaran dari disiplin ilmu interdisipliner untuk merumuskan hipotesis dan
solusi pemecahannya; (4) utilitas dan praktikalitas inheren dalam menemukan
solusi dari masalah yang problemtik; dan (5)
situasi yang ditemui dalam kehidupan (life-like
situations) mensyaratkan kemampuan apklikatif dari pengetahuan yang telah
dipelajari siswa (Ediger& Rao,2011:4).
Ø
The Fused Plan. Lebih luas dari kurikulum korelasi ialah the fused plan yaitu susunan kurikulum
yang lebih ditekankan pada hubungan
disiplin ilmu atau mata pelajaran yang lebih banyak dari kurikulum korelasi,
tetapi lebih sedikit dari kurikulum integrasi atau kurikulum pemecahan masalah (Ediger&Rao,2011:5).
Ø
Pembelajaran
Tema. Dari satu segi, kurikulum integrasi bisa diartikan sebagai suatu bentuk
alternatif organisasi kurikulum. Dari pada memberlakukan kurikulum disisplin
akademik, pendekatan yang kebih bersifat interdisipliner dipakai. Misalnya, dari pada menawarkan mata pelajaran sejarah,
kurikulum bisa mencakup seperangkat tema atau isu yang mengharuskan siswa
menguasai bidang studi sosial yang lebih luas dari sejarah saja.
2). Ruang Lingkup (Scope).
Ø Mata Pelajaran. Ruang lingkup berdasarkan mata pelajaran yang
terpisah-pisah (separate subject matters)
sudah lumrah pada kurikulum sekolah di mana-mana. Berapa mata pelajaran
tertentu dipilih berdasarkan anggapan bahwa mata pelajaran tersebut berguna dan
relevan untuk dipelajari siswa. Sedangkan mata pelajaran lainnya dianggap
tidak perlu dikesampingkan. Umpama, hampir semua kurikulum mencantumkan bahasa,
sains, sejarah, geografi dan matematika dengan ruang lingkup tertentu masuk kurikulum.
Ø Bidang Luas (Broad Fields). Oleh karena kritik tentang kelemahan kurikulum sebagai
mata pelajaran yang terpisah-pisah, beberapa ahli kurikulum menyatukan beberapa
mata pelajaran atau disiplin ilmu terkait menjadi satu bidang studi yang lebih
luas, seperti menyatukan matematika dan sains menjadi Ilmu Pengetahuan Alam
(IPA) atau Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) sebagai gabungan beberapa mata
pelajaran Sejarah, Geografi, Ekonomi,
Sosiologi dan Antropologi. Penyokong ide penggabungan mata pelajaran tersebut mengemukakan bahwa
kita harus mengajarkan kepada siswa saling kaitan antara dan antar bidang-bidang
ilmu berdekatan.
Ø Projek. Metode projek oleh Kilpatrick (1918)
mengharuskan siswa melakukan suatu projek yang penyelesaiannya
mensyaratkan siswa menguasai pengetahuan dan nalar lintas, integrasi bidang
studi atau disiplin ilmu (Schubert 1986:235). Kurikulum projek adalah suatu
karya yang ditentukan para siswa, walau pada prakteknya, seringkali projek itu ditentukan guru. Pembelajaran atau kesan
yang ingin dimiliki siswa dalam melakukan projek adalah bahwa untuk memahami
suatu masalah dengan jelas di masyarakat diperlukan perspektif yang lebih luas
dengan mensintesiskan pengetahuan disiplin ilmu yang berbeda-beda dan yang
terkait. Dengan kata lain, projek ingin menanamkan pengertian kepada siswa,
bahwa diperlukan perspektif beragam ilmu untuk memahami satu faset atau masalah
dalam kultur, masyarakat, kehidupan pribadi atau masalah intelektual.
Ø Kurikulum Inti. Kurikulum Inti (The
Core Curriculum) yang diajukan Alberty, Faunce dan Bassing, menyatukan
beberapa disiplin ilmu dalam satu pusat kesatuan yang biasanya mengenai masalah
sosial (Schubert,1986:235-36). Umpama, masalah seperti perang dan damai,
penghancuran ekologi, kelaparan, peledakan penduduk, kemiskinan atau kecemburuan
sosial dapat dipelajari dengan membimbing siswa melaksanakan riset sehingga
mereka memperoleh pengertian yang dalam dari berbagai disiplin ilmu atau dari
pengalaman praktis mereka di masyarakat.
b.
Dimensi
Vertikal
Ada dua prinsip organisasi vertikal
yaitu sequence (urutan) dan continuity (keberlanjutan)dapat
pemakalah uraikan sebagai berikut:
Ø Urutan (sequence).
Dimensi pertama
organisasi vertikal ialah urutan (sequence)
yaitu meletakkan konten, kegiatan
belajar atau pengalaman belajar dalam suatu susunan vertikal yang berkembang
secara akumulatif dan berkesinambungan, makin lama makin luas dan makin dalam. Banyak pendidik yang peduli pada pengajaran konten tetapi
cenderung mengabaikan efektifitas urutan konten. Pada hal, jika kurikulum
mementingkan urutan, siswa akan berhasil dalam pembelajaran, sebab retensi
mereka lebih baik jika hubungan antar mata pelajaran atau bidang studi
diperhatikan (Ediger& Rao, 2010:43).
Sebaliknya, tidak ada perkembangan
atau keberlanjutan progresif
dari pengetahuan, keterampilan atau pengalaman siswa sebelumnya, jika urutan
diabaikan. a. Urutan dari sederhana ke komplek, b. Urutan dari yang sudah dikenal
ke yang belum dikenal, c. Urutan dari yang konkrit ke yang abstrak, d.
Mengajarkan atau membelajarkan siswa tentang faktor terikat (dependent factor ) terlebih dahulu, e. Urutan
kronologis, f. Urutan berdasarkan kegunaan
Posner dan Strike juga mengajukan empat prinsip organisasi kurikulum, yaitu
urutan:
a) Berkaitan dengan konsep (concept-related); urutan yang paling
biasa pada pembelajaran struktur pengetahuan, seperti saling kaitan antar dan
antara konsep-konsep pada matematika dan logika dari pada antara objek nyata.
b) Berkaitan dengan penelitian (inquiry-related) yang berasal dari
prosedur yang dilakukan ilmuwan dalam melakukan penelitian lapangan. Artinya,
langkah-langkah yang dilakukan peneliti dalam memproses konsep dan prinsip
dipakai pula sebagai dasar dalam urutan topik-topik kurikulum.
c) Berkaitan dengan pembelajar
(learner-related) yaitu urutan sesuai cara siswa belajar memperoleh
pengalaman melalui pembelajaran konten dan melakukan kegiatan belajar.
d) Berkaitan dengan kegunaan (utility-related)
sesuai prosedur bagaimana orang melakukan sesuatu untuk mencapai suatu tujuan
tertentu dalam kehidupan nyata (Ornstein&Hunkins,2013:157).
Selain prinsip susunan tradisonal tersebut, ada pula prinsip urutan
kurikulum berdarkan model psikologi
Robert Gagne, dan teori perkembangan seperti Robert Havigfurst, Jean
Piaget, Erik Ericson dan Lawrence Kohlberg sebagai berikut.
1. Gagne menyusun pembelajaran atas empat tipe pembelajaran. Keempat tipe
pembelajaran tersebut adalah: (1) Diskriminasi beragam (multiple discrimination) yang terkait dengan bagaimana siswa
belajar merespon dorongan yang berbeda terhadap stumulus yang kelihatannya sama. Misalnya, anak-anak TK belajar
menemukan perbedan antara huruf d dan b; (2) Belajar konsep (concept learning) yaitu cara siswa
meberikan respon yang sama terhadap seperangkat dorongan. (3) Belajar prinsip (principle learning) mengacu pada
bagaimana siswa menguasai suatu prinsip, hukum, atau seperangkat konsep, dan
(4) Pemecahan masalah (problem solving)
(McNeil,1977:162-63).
2. Prinsip susunan kurikulum berdasarkan Teori Perkembangan (Development Tasks) oleh Robert Havighurt dikemukakan bahwa: (1)
kematangan organisme biologis menentukan tingkat kemampuan anak melakukan
sesuatu, (2) pola sosial dan kultural mengharuskan anak mempelajari kemampuan
tertentu pada waku tertentu, (3) pola
berurutan tentang kesukaan atau
ketidaksukaan individual anak
(McNeil,1977:162-63). Misalnya, kegiatan
belajar untuk late childhood mencakup
hal-hal seperti sosialisasi dengan sebaya, melakukan hal-hal sesuai aturan berlaku, mengenal kawan-kawan dari
kelamin sejenis dan memahami perubahan
fisik.
3. Erick Erikson mengajukan Life Cycles (jalur kehidupan) sebagai dasar urutan
kurikulum seperti keinginan dan harapan yang harus dikuasai siswa sesuai
tuntutan budayanya sejak kanak-kanak
sampai dewasa sebagai petunjuk tentang cara
yang tepat bagaimana menyusun kurikulum (McNeil,1977:164).
4. Lawrence Kohlber mengajukan A Development Scheme (skema perkembangan)
sebagai cara penyusunan pembelajaran dalam bidang moral (McNeil,1977:164). Dia
percaya bahwa kesempatan belajar harus disusun sesuai tahap perkembangan anak saat ini dan saat
berikutnya. Dia menemukan bukti bahwa
perubahan pola pikir moral anak berkembang bertahap melalui enam tipe
pertimbangan moral (moral judgment) dari
tiga tingkat perkembangan moral:
(1) Tingkat Prakondisional (4-10
tahun
(2) Tingkat Konvensional (10-13
tahun)
(3) Tingkat Pasca
5.
Piaget mengajukan empat
pengembangan kurikulum yang dapat dirangkum sebagai berikut.
(1) Tingkat Sensorimotor (sejak lahir sampai
2 tahun) ketika anak mulai dapat memahami konsep atau simbol yang secara
gradual berkembang dari tingkah laku
reflektif menjadi tingkah laku bermakna (goal-directed
behavior). Pada fase ini anak juga mulai memahami hubungan sederhana antara
benda-benda yang mirip dalam
lingkungannya melalui indera dan
keterampilan motoriknya.
(2) Tingkat Pra-operasional (2-7
tahun), perkembangan kemampuan mengguna-kan simbol dari benda-benda seperti
kursi untuk duduk, pakaian untuk kita pakai. Pada fase ini anak juga memiliki
kemampuan yang besar untuk mempelajari konsep yang lebih kompleks melalui
pengalaman seperti apel dan pisang
adalah buah yang bisa disentuh dan dimakan.
(3) Tingkat Konkrit Operasional (7-11
tahun), anak mulai memiliki kemampuan
berpikir logis dan memperoleh fasilitasi bagi kemampuan memecahkan masalah
tentang hal-hal yang sudah dikenalnya atau ada benda konkrit. Kemampuan berpikir abstrak belum mungkin dapat
dilakukan anak pada tahap ini.
(4) Tingkat Formal Operasional
(11 tahun-dewasa) mulai ketika terlihat perkembangan para adolesen memiliki
kemampuan operasional formal dan abstrak sehingga dia mampu menganalisis ide-ide, bisa
berpikir hipotesis, memahami hubungan dalam ruang dan waktu serta mampu
memecahkan masalah melalui kemampuan eksperimen sistematik. (McNeil,1977; Ornstein
&Hunkins, 1988; Elliott, 1996; Slavin, 994).
Ø Keberlanjutan (Continuity). Prinsip kedua
organisasi vertikal ialah keberlanjuan (contuinity)
yaitu pengulangan vertikal elemen-elemen kurikulum utama (Tyler,1949:84;
Ornstein&Hunkins,2013:157). Melalui prinsip keberlanjutan, konten, konsep,
teori, ide atau tema yang memerlukan pendalaman dan perluasan lebih lanjut
dimunculkan kembali.
2.
Organisasi Dimensi horizontal dan vertical
Kedua dimensi organisasi kurikulum, horizontal dan vertikal, sangat
strategis dalam menghasilkan efek kumulatif pengalaman belajar siswa yang
dihasilkan (Tyler,1949:84; McNeil,1977:158). Di
samping itu, organisasi horizontal dan vertikal memungkinkan kaburnya garis batas antar mata pelajaran atau bidang studi
sehingga menghasilkan curiculum synthesis tanpa menghilangkan independensi mata
pelajaran atau disiplin ilmu masing-masing (Tanner & Tanner, 1975:473).
Kurikulum Spiral. Ide penyusunan konten atau pengetahuan secara
horizontal dan terutama vertikal, memicu
Bruner mengajukan konsep Spiral
Curriculum; kurikulum yang menanamkan kepada siswa ide pokok struktur
disiplin ilmu yang dikembangkan secara
spiral sehingga pengetahuan siswa makin
lama makin dalam (deepened) dan makin
luas (widened), mengikuti kemajuan
kemampuan mereka ke kelas atau tingkat pendidikan yang makin tinggi pula
(Tanner&Tanner,1975:429).
Kurikulum spiral, menurut John Dewey, tidak terkait struktur bidang ilmu
saja seperti pada spiral kurikulum Bruner, tetapi dimulai dari keluasan dan
kedalaman pengalaman pendidikan siswa
untuk memecahkan berbagai masalah sebagai hasil perkembangan daya pikir siswa.
Berdasarkan hal tersebut, Dewey mengungkap perlunya seleksi mata pelajaran untuk disesuaikan
dengan tingkat kematangan siswa. Ide ini terkait pula dengan curriculum synthesis pada tataran
vertikal dan lateral – pada tataran vertikal mengacu pada perluasan pengetahuan
ke tingkat yang lebih tinggi, dan pada tataran lateral dengan saling kaitan
antar bidang studi dan disiplin ilmu (Tanner&Tanner, 1975:430).
Artikulasi dan Keseimbangan. Artikulasi (articulations)
adalah saling kaitan antara berbagai aspek kurikulum, baik secara
horizontal maupun vertikal (Ornstein&Hunkins, 1988:170). Saling kaitan
elemen kurikulum tertentu dengan elemen kurikulum lainnya pada waktu yang
berbeda mengacu pada dimensi artikulasi
vertikal. Umpama, artikulasi antara beberapa konsep mata pelajaran matematika
pada suatu kelas yang berguna bagi siswa untuk memahami konsep statistika di
kelas berikutnya. Artikulasi juga mengacu pada saling kaitan
beberapa aspek kurikulum, baik secara vertikal maupun horizontal, sehingga
konten yang muncul kemudian berkaitan
dengan yang sebelumnya. Misalnya, guru mengatur agar mata pelajaran
matematika berkaitan dengan konsep kunci matematika pada mata pelajaran
geometri di waktu lain (Ornstein&Hunkins,2013:158).
Sedangkan keseimbangan (balance) adalah upaya untuk menyusun elemen-elemen kurikulum
agar terjaga tekanan yang berimbang, misalnya,
antara ketiga ranah kognitif, afektif dan psikomotor yang relevan dengan
tujuan pendidikan. Keseimbangan juga bisa dipandang dari segi kebutuhan stakeholders kurikulum yang beragam.
Menurut Brady&Kennedy (2007:7-9), ada beberapa stakeholders kurikulum seperti masyarakat, guru, siswa, orang tua,
pemerintah, kelompok bisnis, perguruan tinggi dan lain-lain yang masing-masing
memiliki harapan, kepentingan dan aspirasi yang bervariasi tentang fokus
kurikulum yang harus dikuasai siswa sebelum mereka berkiprah di masarakat.
3.
Elemen Pengorganisasian
Pada bagian terdahulu sudah disebut ada integration
threads (benang intergrasi) yang dikenal juga dengan organizing threads (Tyler,1949:86) sebagai elemen yang menghubungkan atau mengintegrasikan satu
atau lebih disiplin ilmu, bidang studi atau mata pelajaran. Benang organisasi
tersebut, antara lain: (1) Konsep, konten atau materi kurikulum dikembangkan
sekitar konsep tertentu seperti pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai,
kebudayaan, pertumbuhan, nomor, ruang, evaluasi, dan lain-lain; (2) Generalisasi, kesimpulan yang diambil
ilmuwan berdasarkan observasi mendalam; (3) Keterampilan,
keahlian atau kemampuan yang
direncanakan untuk dimiliki siswa bagi kelangsungan proses pembelajaran. (4) Nilai-nilai filsafat, nilai
kemasyarakatan agar dapat hidup dengan baik di, dan dapat diterima oleh,
masyarakat seperti menghargai hakekat kemanusiaan setiap orang tanpa melihat
suku, ras, bangsa, agama, pangkat, penghasilan serta harga diri. (5) Pengalaman belajar antara suatu bidang
studi atau mata pelajaran dengan mata pelajaran lainnya termasuk pengalaman
belajar di sekolah dan pengalaman belajar di luar sekolah atau di lapangan
sehingga terjadi korelasi dan integrasi antara abstrart book knowledge, pengetahuan abstrak dalam buku teks
(teori) di sekolah dan pengalaman nyata (real-life exeriences) siswa di lapangan
(praktik).
Elemen organisasi mana yang dipilih terkait tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Misalnya pada kurikulum vokasional, atau
teknologi, keterampilan menjadi elemen kurikulum yang tepat untuk dipilih
sebagai benang organisasi penghubung. Selain itu, pengetahuan tentang konsep-konsep
abstrak yang dipelajari siswa pada mata pelajaran teknik dan vokasional (teori)
tersebut perlu pula dikaitkan dengan pengalaman belajar nyata (praktik) siswa
di lapangan sebagai elemen penting untuk dihubungkan. Sasarannya ialah untuk
mengembangkan kemampuan aplikatif siswa dalam mengaplikasikan teori-teori yang
telah dipelajari di sekolah (pedagogic
learning) di dunia nyata atau lapangan
(real- life experiences).
4. Kurikulum Fungsional
Seringkali kurikulum tidak efektif bukan dosebabkan konten yang tidak
memadai, tetapi karena organisasi atau susunan konten membuat pembelajaran
sulit, atau karena pengalaman belajar disusun dengan suatu cara yang
mengakibatkan pembelajaran kurang efisien atau kurang produktif
(Taba,1962:290) sehingga menyebakan kurikulum tidak fungsional. Dysfungtional curriculum disebabkan kedua komponeen konten, meteri dan
dan kegiatan belajar, tidak diorganisir sebagai
satu unit kesatuan dalam proses pembelajaran. Dengan perkataan lain,
kurikulum bisa disfungsional karena konten tidak dilengkapi kegiatan belajar
siswa; konten kufrikulumlebih banyak diajarkan guru dari pada dipeljari siswa
sehingga menghasilkan belajar verbal yang
menimbulkan kurikulum tidak efektif. Artinya, siswa banyak diam
mendengar presentasi konten oleh guru, berfungsi sebagai passive recievers saja menerima pengajaran guru. Jadi, konten kurikulum dan kegiatan belajar yang
tidak disusun sebagai satu kesatuan (unity)
dalam setiap proses pembelajaran, menyebabkan kurikulum disfungsional.
Kesimpulan, kurikulum fungsional ialah kurikulum yang lebih fokus pada
pembeljaraan siswa melalui kegiatan
belajar siswa (learning activities)
dan sekaligus meminimalkan pengajaran guru (teaching
activituies). Dengan kata lain, untuk menghindarkan kurikulum
disfungsional, perlu kurikulum yang mengintegrasi konten dan kegiatan belajar
siswa, bukan disusun secara terpisah-pisah yang lebih mengutamakan teaching activiteis dari pada learning activiries.
5. Organisasi Kurikulum
Pengembang kurikulum, menurut Ornstein&Hunkins (2013:200), bisa juga
menyusun konten dalam beberapa tipe
dimesnsi yaitu dimesni filosofis/logis, psikologis, politis dan praktis.
Organisasi
Logis:
Pengembang kurikulum menyusun konten berdasarkan aturan atau konsep
bidang studi atau disiplin ilmu (logical
organization) bersangkutan. Di bidang ekonomi, misalnya, konsep penawaran
dan pemintaan merupakan pengorgansir utama. Andaikata kedua konsep ini tidak
dipahami siswa, maka ia juga akan kesulitan memahami konsep modal, buruh dan
pasar (Ornstein&Hunkins,2013:200).
Organisasi
Psikologis
Komponen kurikulum yang diorganisir
secara psokologis (psychological
organization) berkaitan dengan penyusunan materi dan kegiatan belajar
sesuai psikologi belajar untuk mengoptimalkan hasil pembelajaran. Menurut
psikologi tingkah laku (behaviorisme), misalnya, koten kurikulum harus diseleksi dan disusun
sedemikian rupa supaya menghasilkan respons positif dari siswa yang
kemudian harus diikuti penguatan.
Sedangkan menurut psikologi kognitif, penyusunan konten dan kegiatan belajar
haruslah mendorong siswa berpikir untuk menganalisis, berhipotesis, menginvestigasi,
dan mengkritik sebelum sampai pada kesimpulan tentang materi terkait
(Ornstein&Hunkins,2013:200).
Organisasi
Politis
Organisisasi politis (political
organizaition) makin populer. Menuut Ornstein&Hunkins (2103:200),
susunan tipe ini menyusun konten dan keguatan siswa fokus pada pembelajarn
tebtang topik-topik dan tokoh-tokoh yang berpengaruh sebagai pressure group di
mas yarakat. Seingkali konten bernuansa politis diajarkan sesuai ketentaun
legal negara.
Organisasi
Praktis
Susunan praktis (practicality
organization) terkait masalah praktis dan biaya penyusnan elemen kurikulum,
misalnya, mengikuti suatu inovasi pendidikan yang dianggap lebih efektif dari
susunan elemen kurikulum sebelumnya. Praktis termasuk pemberlakuan inovasi
untuk menjawab pertanyaan, ”Organisasi kompoen kurikulum mana yang bisa
mengoptmalkan pembelajaran?”, ”Apakah ada teknologi, buku teks atau sumber
belajar lain yang menunjang pemberlakuan inovasi ini?” serta pertanyana tentang
kemungkinan support dari guru, orang
tua dan masyarakat termasuk sumber daya.
B. Integrasi Kurikulum (Integrated Curriculum)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Organisasi Kurikulum
Organisasi kurikulum adalah penyususnan komponen kurikulum, seperti
konten kurikulum, kegiatan dan pengalaman belajar, diorganisir menjadi satu
kesatuan sistem sampai menjadi mata pelajaran, program, lessons, topik, unit dan
sebagainya untuk mencapai efektifitas pendidikan. Organsisasi kurikulum adalah jawaban atas pertanyaan “Bagaimana pengalaman belajar diorganisir
atau disusun agar efektifitas pendidikan tercapai
Organisasi atau susunan kurikulum dan pembelajaran bisa
dilihat antar bidang dan antar waktu. Kedua dimensi tersebut disebut berturut-turut ”organisasi
horizontal” dan ”organisasi vertikal”. Integrasi (integration) mata pelajaran bernilai tinggi bagi
pembelajaran dan retensi siswa (Ediger&Rao,2011:3). Sebab, secara
horizontal integrasi memperluas pandangan siswa tentang pengetahuan.
Pendekatan integrasi kurikulum berbeda dengan pendekatan belajar lainnya
karena: (1) tidak mementingkan hafalan, tetapi mengutamakan aplikasi
pengetahuan untuk memecahkan masalah yang relevan dengan masalah yang sudah
diidentifikasi; (2) mata pelajaran tidak
dipecah-pecah menjadi bagian-bagian tetapi dipakai secra holistik dalam situasi
yang dilematis; (3) pemakaian mata
pelajaran dari disiplin ilmu interdisipliner untuk merumuskan hipotesis dan
solusi pemecahannya; (4) utilitas dan praktikalitas inheren dalam menemukan
solusi dari masalah yang problemtik; dan (5)
situasi yang ditemui dalam kehidupan (life-like
situations) mensyaratkan kemampuan apklikatif dari pengetahuan yang telah
dipelajari siswa (Ediger& Rao,2011:4).
Kurikulum Fungsional ialah kurikulum yang lebih fokus pada pembeljaraan siswa
melalui kegiatan belajar siswa (learning activities) dan sekaligus
meminimalkan pengajaran guru (teaching
activituies).
Organisasi Kurikulum: Pengembang kurikulum, menurut Ornstein&Hunkins
(2013:200), bisa juga menyusun konten
dalam beberapa tipe dimesnsi yaitu dimesni filosofis/logis, psikologis, politis
dan praktis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar